Adab & Akhlak

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ada asap, ada api - sebab munculnya hasad

Ada Asap Ada Api Mungkin anda pernah mendengar pepatah ini " Ada asap ada api " yaitu segala sesuatu itu pasti ada sebabnya. Demikian juga hasad, dia tidaklah muncul dengan sendiri kalau tidak ada hal yang memicunya dan menyebabkannya. Maka perlu kiranya kita pengetahui faktor-faktor pemicu munculnya hasad karena dengan mengetahui penyebab dari suatu penyakit kita bisa mengetahui obatnya. Berkata Al Imam Ibnu Qudama dalam kitab Mukhtashor Minhajul Qosidin " Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya: Permusuhan, . Takabur (sombong),  Bangga diri, Ambisi kepemimpinan, Jeleknya jiwa  Kebakhilannya. Hasad yang paling dahsyat adalah yang ditimbulkan oleh permusuhan dan kebencian. Karena orang yang disakiti orang lain dengan sebab apapun, akan menumbuhkan kebencian dalam hatinya, serta tertanamnya api kedengkian dalam dirinya. Kedengkian itu menuntut adanya pembalasan, sehingga ketika musuhnya tertimpa bala` ia pun senang dan menyangka bahwa itu adalah pembalasan dari Allah untuknya. Sebaliknya, jika yang dimusuhinya memperoleh nikmat, ia tidak senang. Maka, hasad senantiasa diiringi dengan kebencian dan permusuhan. Adapun hasad yang ditimbulkan oleh kesombongan, seperti bila orang yang setingkat dengannya memperoleh harta atau kedudukan maka ia khawatir orang tadi akan lebih tinggi darinya. Ini mirip hasad orang-orang kafir terhadap Rasulullah n sebagaimana yang dikisahkan Allah Ta'ala: “Kalian tidak lain kecuali manusia seperti kita.” (Yasin: 15) Yakni mereka heran dan benci bila ada orang yang seperti mereka memperoleh derajat kerasulan, sehingga mereka pun membencinya. Demikian pula hasad yang ditimbulkan oleh ambisi kepemimpinan dan kedudukan. Misalnya ada orang yang tak ingin tertandingi dalam bidang tertentu. Ia ingin dikatakan sebagai satu-satunya orang yang mumpuni di bidang tersebut. Jika mendengar di pojok dunia ada yang menyamainya, ia tidak senang. Ia justru mengharapkan kematian orang itu serta hilangnya nikmat itu darinya. Begitu pula halnya dengan orang yang terkenal karena ahli ibadah, keberanian, kekayaan, atau yang lainnya, tidak ingin tersaingi oleh orang lain. Hal itu karena semata-mata ingin menyendiri dalam kepemimpinan dan kedudukan. Dahulu, ulama Yahudi mengingkari apa yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad Sholallahu alaihi wa sallam serta tidak mau beriman kepadanya, karena khawatir tergesernya kedudukan mereka. Adapun hasad yang ditimbulkan oleh jeleknya jiwa serta bakhilnya hati terhadap hamba Allah Ta'ala, bisa jadi orang semacam ini tidak punya ambisi kepemimpinan ataupun takabur (kesombongan). Namun jika disebutkan di sisinya tentang orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta'ala, sempitlah hatinya. Jika disebutkan keadaan manusia yang goncang serta susah hidupnya, ia bersenang hati. Orang yang seperti ini selalu menginginkan kemunduran orang lain, bakhil dengan nikmat Allah Ta'ala atas para hamba-Nya. Seolah-olah manusia mengambil nikmat itu dari kekuasaan dan perbendaharaannya. Demikianlah, kebanyakan hasad yang terjadi di tengah-tengah manusia disebabkan faktor-faktor tadi. Dan seringnya terjadi antara orang-orang yang hidup sejaman, selevel, atau antar saudara. Oleh karena itu, anda dapati ada orang alim yang hasad terhadap alim lainnya, dan tidak hasad terhadap ahli ibadah. Pedagang hasad terhadap pedagang yang lain. Sumber semua itu adalah ambisi duniawi, karena dunia ini terasa sempit bagi orang yang bersaing." Hati-hati Hasad Menyerang Manusia Yang Sederajat Coba anda cermati bagian terakhir dari ucapan Ibnu Qudamah sebelumnya bahwa hasad biasanya muncul dari orang yang sederajat hal ini senada dengan ucapan Imam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Ta'la : "Dan hasad diantara para wanita sering terjadi dan mendominasi, terutama diantara para istri-istri pada satu suami. Seorang wanita cemburu karena adanya para istri yang lain yang menyertainya. Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang-orang yang berserikat dalam kepemimpinan atau harta jika salah seorang dari mereka mendapatkan bagian dan yang lainnya luput dari bagian tersebut. Demikian juga hasad terjadi diantara orang-orang yang setara karena salah seorang diantara mereka lebih dari pada yang lain. Sebagaimana para saudara nabi Yusuf, demikian juga hasadnya salah seorang anak Adam kepada yang lainnya. Ia hasad kepada saudaranya karena Allah menerima korbannya sementara kurbannya tidak diterima. Ia hasad kepada kelebihan yang Allah berikan berupa keimanan dan ketakwaan –sebagaimana hasadnya yahudi terhadap kaum muslimin- sehingga iapun membunuh saudaranya karena hasad tersebut" (Majmuu' Al-Fatawa 10/125-126) Oleh karena itu kita mendapati pedagang bakso hasad dengan pedagang bakso lainnya, dia tidak hasad dengan juragan mebel yang ada didepannya walaupun penghasilan juragan mebel jauh lebih besar darinya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kecendrungan untuk mengungguli orang yang sederajat dengannya dan ini merupakan perkara yang lumrah selama tidak menimbulkan kebencian dan kedengkian dengan sesama,sehingga ketika benih-benih kedengkian mulai tumbuh segeralah musnakan jangan biarkan dia berkembang...✍ الله المستعان و عليه التكلان Antara Hasad dan Ghibthah Dari uraian yang telah disebutkan, jelaslah bahwa hasad adalah suatu sifat yang tercela karena pelakunya mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, serta kebenciannya memperoleh nikmat tersebut. Adapun ghibthah adalah seseorang menginginkan untuk mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain, tanpa menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan maka pelakunya terpuji. Bahkan ini merupakan bentuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Jika irinya dalam perkara maksiat maka ini tercela, sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah maka hukumnya juga mubah. (Lihat At-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167) Nabi Sholallahu alaihi wa sallam bersabda: ((لا حسد إلا في اثنتين رجل علمه الله القرآن فهو يتلوه آناء الليل وآناء النهار فسمعه جار له فقال: ليتني أوتيت مثل ما أوتي فلان فعملت مثل ما يعمل، ورجل أتاه الله مالاً فهو يهلكه بالحق فقال رجل ليتني أوتيت مثل ما أوتي فلان فعملت مثل ما يعمل )) “Tidak ada hasad atau iri –yang disukai– kecuali pada dua perkara; (yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim, Kitab Shalatil Musafirin wa Qashriha, no. 815, dari sahabat Ibnu ‘Umar ) Sumber : Telegram Ukhuwah Imaniyah **** Disebarkan Oleh Happy Islam | Arsip Fawaid Salafy Join Channel Telegram telegram.me/happyislamcom
10 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hari ini, aku menyakiti

Hari ini, sudah berapa orang yang saya sakiti. Ah, mengapa terlalu jauh sampai sehari! Satu jam yang lalu, beberapa saat yang lalu, berapa orang yang telah saya bicarakan di hadapan orang lain? Toh, kalaupun itu benar, tetap saja termasuk ghibah yang haram. Barangkali ia tidak mau dibicarakan. Barangkali ia tersinggung dengan ucapan kita. Barangkali itu adalah sebuah aib yang ia merasa malu ada pihak ketiga yang tahu? “Wahai Rasulullah, apakah kita diazab karena apa yang kita ucapkan?” Muadz bin Jabal bertanya. Maka Rasulullah bersabda, “Bagaimana engkau ini wahai Muadz, bukankah seorang tertelungkup dalam neraka di atas wajahnya tidak lain karena sebab lisannya?” [H.R. At Tirmidzi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash Shahihah]. Ini baru satu orang, dalam tempo beberapa saat yang lalu. Hari ini, kemarin, lusa, dan seterusnya, tak terhitung berapa puluh atau ratus korban lisan ini. Akankah korban-korban terus bertambah? Padahal, pemilik lisan inilah korban yang sesungguhnya. Pemilik lisan itulah yang akan berat mempertanggungjawabkannya. Tidakkah melihat, mereka yang mau bicara saja terbata-bata, atau yang bisu tanpa ada kata-kata? Lihatlah, sungguh nikmat lisan ini sangat besar. Atau hampir tidak ternilai dengan dunia seisinya. Dalam kenyataan seperti itu, justru lisan ke sana ke mari menjatuhkan martabat orang lain. Jangan heran, banyak orang binasa karena lisan! Memang, menjaga lisan butuh perjuangan dan kesabaran. Bukan sehari dua hari, bukan setahun dua tahun, bahkan butuh waktu yang panjang untuk mampu mengekangnya. Malik bin Dinar pernah mengatakan, “Sabar adalah diam, dan diam adalah bagian dari kesabaran. Tidaklah orang yang bicara lebih baik dari pada orang yang diam, kecuali orang yang paham saat diam dan mengerti kapan harus bicara.” [dalam kitab Hilyatul Auliya’, karya Abu Nu’aim ]. Nampaknya kita sangat butuh untuk meminta pertolongan kepada Allah agar mampu menjaga lisan, dan lebih dari itu mensyukurinya. [farhan]. Sumber : Majalah Tashfiyah
10 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

definisi dan macam-macam sabar

Tak ada seorang pun yang menginginkan hidup dalam keadaan sulit. Tidak ada seorang pun menginginkan musibah terjadi atas dirinya. Namun, kenyataan hidup berbeda dengan apa yang di inginkan oleh setiap manusia. Hidup manusia tak selalu diwarnai dengan kebahagiaan dan kesenangan. Tidak pula hidup selalu diliputi kesuksesan. Terkadang manusia harus jatuh bangun menghadapi kehidupan. Ia harus menghadapi sekian banyak cobaan. Beruntunglah orangorang yang sabar. Apa itu Sabar? Secara bahasa sabar adalah الْحَبْسُ وَالْمَنْعُ Artinya, menahan atau mencegah . Adapun secara istilah dimaknai: حَبْسُ اللِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي وَالتَّسَخُّطِ وَالنَّفْسِ عَنِ الْجَزَعِ وَالْجَوَارِحِ عَنْ لَطْم الْخُدُودِ وَشَقِّ الْجُيُوبِ Artinya, kemampuan seseorang untuk menahan lisan, mengendalikan diri (jiwa), serta menahan anggota tubuh dari memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian) . ( It-hafu al-’Uqul bi Syarhi Tsalati al-Ushul , asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri) . Penyebutan “memukul wajah dan merobek kerah baju (pakaian)” dalam definisi di atas, terkait dengan kebiasaan orang-orang Arab jahiliah (sebelum Islam datang) ketika ditimpa musibah kematian orang yang dicintai. Mereka menunjukkan perilaku memukul-mukul wajah dan merobek kerah baju. Ini dilakukan sebagai wujud kesedihan yang mendalam. Berdasar definisi di atas, sabar memiliki tiga unsur pokok: pengendalian diri (jiwa), pengendalian lisan, dan pengendalian anggota tubuh. Kesabaran seseorang akan tecermin dari sejauh mana tingkat dan kemampuan dirinya melakukan pengendalian diri, lisan, dan anggota tubuhnya. Seseorang belum dikatakan bersabar manakala tangan atau kakinya melakukan aksi perusakan saat dirinya emosi menghadapi ketidakpuasan. Dia melakukan tindakan agresif secara membabi buta. Seseorang belum juga dikatakan bersabar manakala dirinya ditimpa musibah lantas lisannya mengeluarkan kata-kata kekufuran atau kesyirikan, kata-kata tidak terpuji, umpatan atau sumpah serapah, caci maki, dan yang sejenis.  Seseorang juga belum bisa dikatakan bersabar saat dirinya didera musibah lantas jiwanya goncang dan hilang kontrol diri. Dia tidak bisa mengendalikan diri, dan justru menampakkan kemarahan dan sikap emosi. Lebih dari itu, dalam keadaan goncang, dirinya terjatuh pada perbuatan syirik atau bid’ah. Dirinya tak sabar menghadapi kesulitan hidup lantas mendatangi dan meminta-minta kepada yang ada di dalam kubur atau mendatangi dukun,  wal ’iyadzu billah . Maka dari itu, seseorang bisa dikatakan bersabar manakala dirinya mampu mengendalikan dan mengontrol emosi, lisan, dan segenap anggota badannya saat menghadapi musibah atau situasi tidak menyenangkan yang menimpanya. Ia tetap dalam garis ketaatan seraya tawakal (berserah diri) dan memohon pertolongan-Nya.   Macam-macam Kesabaran    Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin  rahimahumallah  menyebutkan bahwa kesabaran itu meliputi tiga macam. 1. Bersabar dalam rangka menaati Allah  Subhanahu wata’ala .  Ini sebagaimana difirmankan Allah  Subhanahu wata’ala , وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ “Perintahlah keluargamu untuk menegakkan shalat dan bersabarlah dalam menunaikannya.”  (Thaha: 132) إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنزِيلًا () فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ “Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan al-Qur’an kepadamu secara bertahap, maka bersabarlah dalam menetapi hukum Rabb-mu.” (al-Insan: 23—24)   Sabar dalam menaati Allah Subhanahu wata’ala  ialah bentuk kesabaran merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala. 2. Bersabar dari berbuat maksiat kepada Allah  Subhanahu wata’ala   Bentuk kesabaran ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saat seorang wanita berkedudukan dan terpandang mengajaknya melakukan perbuatan maksiat, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam justru menghindar. Nabi Yusuf ‘Alaihissalam bersabar (menahan) diri untuk tidak terseret pada perilaku durhaka. Dia memilih untuk mendekam dalam penjara daripada harus melakukan kedurhakaan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman mengungkapkan kisah itu, قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ “Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)  3. Bersabar atas segala takdir Allah  Subhanahu wata’ala .   Allah  Subhanahu wata’ala  berfirman, فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ “Bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran para rasul yang memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka.” (al-Ahqaf: 35) Termasuk kesabaran ini ialah kesabaran ketika menyampaikan risalah dan menghadapi berbagai gangguan yang dilancarkan oleh anggota masyarakat.     Ujian Hidup Pasti Ada     Allah Subhanahu wata’ala berfirman, وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ () الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ () أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu, orangorang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabbnya (yaitu, Allah Subhanahu wata’ala) dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 155—157)   Di dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa setiap manusia akan mendapat ujian di dalam kehidupannya. Ujian tersebut bisa dalam bentuk gagal panen, kehilangan modal usaha (harta), kehilangan orang yang dicintai (kematian), atau hilangnya rasa aman (ketakutan), dan lainnya. Meski demikian, orang-orang yang beriman, akan menyikapi semua ujian hidup tersebut dengan penuh kesabaran. Orang yang beriman memiliki keyakinan bahwa musibah yang menimpanya akan memberikan kebaikan pada dirinya. Betapa tidak, dengan musibah itu dia harus bersabar. Manakala dirinya bisa bersabar, maka AllahSubhanahu wata’ala akan memberikan pahala. Misal, seseorang yang diuji oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan rasa sakit. Jika dirinya bersabar dengan apa yang menimpanya, niscaya dia akan mendapat ganjaran. Dia akan mendapat ampunan, yaitu dosa-dosanya dihapus dan mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala Dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id dan Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَاهَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ “Tiadalah seorang muslim yang ditimpa kepayahan, sakit (yang berkepanjangan/lama), kecemasan (gundah), kesedihan, kesakitan, dan dukacita hingga (ditimpa musibah) tertusuk duri, kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” ( HR. al-Bukhari, no. 5642 dan Muslim, no. 52, 2573) Demikianlah, ujian hidup itu pasti ada. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ  أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟  فَقَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ رَقِيقَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ، وَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ ذَاكَ. قَالَ: فَمَا تَزَالُ الْبَلَايَا بِالرَّجُلِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah manusia yang paling berat mendapat ujian?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallampun lantas menjawab, “Para nabi lalu yang semisal dengan mereka kemudian yang semisal dengan mereka. Seseorang akan mendapat ujian sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kokoh, keras pula ujiannya. Bila keadaan agamanya lemah, ia akan diuji sebanding dengan keadaan agamanya. Ujian itu tak akan terlepas dari seseorang hingga dirinya berjalan di muka bumi dengan tanpa dosa.” ( HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan selainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 143)    Sabar Menghadapi Ujian dalam Dakwah   Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berupaya mengembangkan dakwah ke wilayah Thaif, yang beliau temui bukanlah sambutan yang baik. Beliau bersama seorang sahabat mendapat cercaan, hinaan, dan kekerasan fisik. Beliau dilempari batu. Tubuh beliau yang mulia terluka. Dari wajah beliau mengucur darah. Mengajak manusia menuju kebaikan malah dibalas kejelekan. Betapa kejahilan yang begitu akut telah melekat pada masyarakat Thaif kala itu. Kejahiliahan yang ada pada mereka sedemikian menggulita sehingga tak mampu mencerna isi ajakan yang disampaikan manusia pilihan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hati mereka buta dan tuli, tiada mampu membedakan kebaikan dan keburukan. Meski demikian, Rasulullah tetap bersabar. Lisan beliau terjaga, tidak membalas umpatan dan caci maki dengan yang semisal. Demikian pula anggota tubuh beliau tak membalas dengan balasan yang semisal. Jiwa beliau tetap kokoh, tak lantas goncang, dan berputus asa dari menebar kebaikan. Kesabaran terhunjam kukuh pada diri beliau. Abdullah bin Mas’ud pernah bertutur bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita,  “Ada seorang nabi dari kalangan nabi-nabi shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim dipukul oleh kaumnya. Lantas mengucurlah darahnya. Nabi itu pun mengusap darah dari wajahnya seraya berdoa, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ ‘Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.’ (HR. al-Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792).” Dikisahkan pula dari Abu Abdillah Khabbab bin al-Aratt radhiyallahu ‘anhu. Katanya, أَتَيْنَا رَسُولَ اللهِ  وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً فِي ظِلِّ  الْكَعْبَةِ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ فَقُلْنَا: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ فَجَلَسَ مُحْمَرًّا وَجْهُهُ فَقَالَ قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُؤْتَى بِالْمِنْشَارِ فَيُجْعَلُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ فِرْقَتَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عَظْمِهِ مِنْ لَحْمٍ وَعَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِه وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مَا بَيْنَ صَنْعَاءَ وَحَضْرَمُوتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ تَعَالَى وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَعْجَلُونَ “Kami mengeluh kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kala itu tengah berbantal dengan kain burdahnya di bawah Ka’bah. Kami sampaikan, ‘Mengapa engkau tidak memintakan tolong dan mendoakan kami?’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ada seorang laki-laki yang hidup sebelum kalian ditangkap dan ditanam di dalam tanah. Kemudian gergaji diletakkan di kepalanya sehingga terbelahlah kepala laki-laki itu menjadi dua. Dengan sisir dari besi, kepala itu pun disisir sehingga terkelupas daging dan tulangnya. Semua itu tak lantas memalingkan dirinya dari agamanya. Demi Allah, sungguh Allah Subhanahu wata’ala akan menyempurnakan perkara ini (Islam) hingga orang yang berkendara dari Shan’a ke Hadramaut tidak ada yang ditakuti kecuali hanya Allah Subhanahu wata’ala dan serigala yang mengancam kambingnya. Akan tetapi, kalian begitu tergesa-gesa’.” (HR. al-Bukhari, no. 2943, 3852) Demikianlah ujian itu akan senantiasa ada. Telah menjadi tabiat dalam dakwah adanya beragam tantangan menghadang. Terkhusus, bagi para da’i yang menyerukan dakwah salafiyah. Beragam upaya untuk meruntuhkan sendi-sendi dakwah akan senantiasa dilakukan. Mulai dari upaya melakukan taqrib, upaya mendekatkan antarjamaah, hingga upaya pengaburan pemahaman dengan melalui berbagai media yang ada. Mereka bersinergi untuk mengoyak dakwah nan mulia ini. Mereka tuduh orang-orang yang bersikukuh di atas manhaj yang haq sebagai kelompok garis keras atau pernyataan yang semisal. Selama hawa nafsu mereka belum tercapai, mereka akan terus menggerogoti dakwah ini dengan berbagai syubhat dan syahwat. Nas’alullahu as-salamah (Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Terkait adanya ujian ini, Allah Subhanahu wata’ala berfirman, أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ () وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orangorang yang dusta.” (al-Ankabut: 2-3) Dalam berbagai keadaan, kesabaran harus senantiasa ada. Saat menghadapi masalah, apabila tidak disertai kesabaran, niscaya akan bisa mengarah pada keadaan yang lebih buruk. Dengan sikap sabar, seseorang akan mampu mengendalikan diri dan mengambil tindakan yang lebih baik (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Sikap sabar akan mengantarkan seseorang pada kebaikan. Disebutkan dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ “Menakjubkan untuk urusan yang menimpa seorang mukmin. Sungguh, seluruh urusannya membawa kebaikan. Tidaklah yang demikian itu bisa diperoleh seseorang kecuali hanya oleh seorang mukmin. Jika dirinya mendapatkan kesenangan lantas bersyukur, sikap syukurnya itu membawa kebaikan baginya. Jika dirinya ditimpa musibah lantas bersabar, sikap sabarnya itu membawa kebaikan baginya.” (HR. Muslim)  Dengan sikap sabar seseorang bisa meraup pahala nan tak terkira. Wallahu a’lam. Di ringkas dari tulisan ustadz Ayip Syafrudin -hafizhahullah- dalam majalah Asy Syariah.
10 tahun yang lalu
baca 10 menit

Tag Terkait